Reformasi ala Deng Xiaoping
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Catatan perjalanan seorang pelarian Revolusi Kebudayaan saat kembali ke China di era Reformasi Deng Xiaoping
Judul: Reformasi Tanpa Keterbukaan – Cina Sesudah Revolusi Kebudayaan
Judul Asli: After the Nightmare
Penulis: Liang Heng dan Judith Shapiro
Penterjemah: A. Dahana
Tahun Terbit: 1989
Penerbit: Pustaka Utama Grafiti
Tebal: viii + 224
ISBN: 979-444-079-5
Tanpa Deng Xiaoping, apa yang akan menjadi masa depan mereka? (hal. 99). Ungkapan Ibu Yang, seorang pemilik kedai mie di Guiyang tersebut menggambarkan betapa Deng Xiaoping telah membuat sebuah perubahan radikal di China paska revolusi kebudayaan yang gagal itu. Ibu Yang mempekerjakan anak-anak yatim piatu di kedainya. Ibu Yang yang adalah seorang nasionalis Kuomingtang dan mengalami nasib yang sangat buruk saat revolusi kebudayaan, telah kembali menata hidup setelah faksi Deng Xiaoping menang. Harga dirinya dikembalikan dan kini ia membuka kedai untuk membantu orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan di kedainya.
Sejak reformasi Deng dijalankan, perubahan luar biasa terjadi di China. Di pedesaan terjadi perubahan sistem produksi. Perubahan sistem produksi ini membuat petani-petani menjadi semakin sejahtera. Di Shenzhen dicoba Zona Ekonomi Bebas. Kebebasan suku-suku minoritas dikembalikan, termasuk dalam menjalankan tradisi dan agama. Kegiatan-kegiatan kebudayaan untuk mengungkapkan jati diri diberi kebebasan, termasuk dansa-dansa ala barat. Perubahan-perubahan tersebut dicatat oleh Liang Heng dan Judith Saphiro dalam perjalanan balik mereka ke China di era pemerintahan Deng Xiaoping. Liang Heng adalah seorang pelarian politik China pada saat revolusi kebudayaan. Ia berkesempatan untuk kembali mengunjungi China pada tahun 1985-1986 atas undangan Pemerintah Deng.
Selain mengisahkan perubahan-perubahan drastik yang dilihatnya, Heng juga mengisahkan perilaku koneksi pribadi kepada para pemimpin yang masih kental dan kuat. Koneksi pribadi ini menjadi alat untuk menghindarkan diri dari hukuman, membangun karier di partai dan bahkan untuk sekedar mendirikan kedai!
Liang Heng mengisahkan banyak orang yang menjadi korban revolusi kebudayaan. Yang menarik, Liang Heng mencatat bahwa semua korban ini tidak tertarik untuk mengingat penderitaan yang mereka alami. Mereka lebih suka memandang masa depan daripada membuka luka yang pernah dideritanya. Kisah tentang Peng Ming dan Tao Sen misalnya. Peng Ming dipenjarakan dengan cara yang sadis. Ia diasingkan dalam kamar yang sempit dan tidak bisa bertemu dengan orang lain selama beberapa tahun. Namun setelah namanya direhabilitasi, ia kembali ke partai dan dengan sepenuh hati membangun karier baru sebagai seorang kepala kebudayaan di stasiun TV lokal. Tao Sen adalah seorang pemimpin mahasiswa yang dipenjara saat revolusi kebudayaan. Kini Tao Sen berkonsentrasi untuk mengembangkan perusahaan yang mengelola hotel kecil dan menjual cindera mata. Tao Sen tidak lagi mengobarkan “Ganyang birokrasi, ganyang feodalisme, hidup demokrasi!” (hal. 43). Tetapi sibuk dengan mencari relasi dan modal untuk perusahaannya supaya bisa membantu orang-orang miskin di kota asalnya. Bahkan Tao Sen mengatakan bahwa: “semuanya berlalu sudah” (hal. 45). Keberanian untuk mengesampingkan penderitaan masa lalu, tidak berupaya menggugat pihak yang menyiksa mereka di masa lalu dan fokus kepada upaya ke masa depan adalah sebuah modal sangat berharga dari masyarakat China sehingga reformasi Deng bisa berjalan dengan sukses.
Reformasi Deng tidaklah mulus seperti yang banyak dikira orang. Peristiwa “Pembersihan spiritual” yang dilakukan pada tahun 1983 adalah bukti bahwa banyak pihak yang terombang-ambing antara pandangan sosialisme dan komunisme lama dengan sosialisme era Deng. Sudah sangat nyata bahwa Deng didukung oleh para reformis ekonomi yang mengubah sistem produksi terutama di pedesaan, kelompok intelektual dan keterbukaan negara terutama terhadap barat. Namun biro propaganda sentral partai mengeluarkan pernyataan “ancaman yang datang dari arah kanan.” Anggukan Deng dalam rapat partai dijadikan pertanda bahwa pembersihan terhadap unsur-unsur kanan harus segera dilakukan. Akibatnya kader partai menengah dan bawah segera melakukan penyerbuan ke rumah-rumah penduduk, menghancurkan kaset-kaset barat, buku-buku seni dan reproduksi lukisan-lukisan karya pelukis barat (hal. 111). Meski peristiwa “Revolusi Kebudayaan Dua Puluh Depalan Hari” hanya berjalan singkat, namun Heng mencatat bahwa kebingungan masyarakat dan pemimpin partai masih terlihat nyata. “Revolusi Kebudayaan Dua Puluh Delapan Hari” adalah sebuah gerakan angin balik di masa pemerintahan Deng (tahun 1983) dimana ada gerakan pembersihan terhadap unsur-unsur kanan. Revolusi ini berjalan sangat singkat. Hanya sekitar dua bulan saja. Namun peristiwa ini sempat membuat para cendekiawan yang sedang di luar negeri takut untuk pulang kembali ke China. Mereka khawatir menjadi korban ketidak-jelasan jalannya politik dalam negeri (hal 134). Bukan hanya para cendekiawan yang takut. Para pekerja seni juga dilanda ketakutan (hal 140). Kisah sutradara Wu yang membuat film tentang Revolusi Kebudayaan, ketakutan setengah mati saat filmnya sedang mengalami penyensoran.
Heng membuat kesimpulan tentang apa yang dia amati saat berkunjung ke China di era Deng Xiaoping sebagai berikut: “Tentu saja siapa pun dapat melihat bahwa reformasi, dalam batas-batas lingkungan sosialisme, sedang menempatkan China pada arah yang lebih baik. Tetapi, bila melihat lebih dalam lagi, bahkan dalam kurun waktu keemasan pertumbuhan dan pengawasan yang lebih kendur, Anda masih akan menemukan beberapa segi negative yang persis berada di bawah permukaan. Itu terdiri dari kelemahan, kebiasaan, dan penyimpangan atas kenyataan yang semuanya begitu dikenal. Padahal, justru itulah yang telah menyebabkan munculnya mimpi buruk. Sangat mudah untuk takut kalau benih-benih malapetaka baru telah tertanam di tengah optimism itu. Jalan China kea rah dunia modern, memang masih akan mengalami banyak kesulitan (hal. 216)
Kesimpulan Heng ini menjadi sebuah pernyataan profetik karena ternyata pada tahun 1989, atau tiga tahun setelah buku ini terbit, terjadilah tragedi Lapangan Tiananmen yang penuh darah. Tragedi yang membawa banyak korban anak sendiri.

Penulis Indonesiana
2 Pengikut

Mooncake - Kisah Duka Seorang Penyandang Disleksia
Kamis, 4 September 2025 12:29 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler